Monday 8 December 2008

Mengolah Amarah Supaya Terarah



Setiap orang bisa marah. Karena manusia memang diciptakan memiliki emosi. Marah memang tidak untuk ditahan. Bukan pula untuk dilampiaskan. Melainkan harus dikelola. Apalagi di kantor. Amarah harus diolah supaya terarah. Beban kerja yang berat. Tenggat waktu yang menjepit. Target yang tak tercapai. Situasi seperti itu sering membuat kita emosi. Maka, amarah pun mudah tersulut. Kalau sudah begini, atasan dan bawahan sama saja. Sama-sama bisa dan berhak marah.

BIJAK MEREDAM EMOSI BAGI PEMIMPIN

Bagi seorang pemimpin, sah-sah saja untuk marah. Pendapat bahwa pemimpin yang bijak tidak boleh marah sangat keliru. Justru seorang pemimpin harus bisa marah. Kalau tidak mampu bersikap tegas, bisa-bisa anak buah bertindak semau gue. Akhirnya, disiplin kerja susah ditegakkan. Namun, tentu saja bukan marah yang tak terkendali. Melainkan marah yang terarah.

Kendati emosi sedang menguasai hati, pemimpin yang bijak yang harus mampu melihat kesalahan anak buahnya secara obyek-tif. Artinya, dia tahu persis kesalahan sang anak buah berdasarkan fakta. Bukan karena kabar burung. Laporan palsu. Apalagi fitnah. Maka, saat mendengar sang anak buah melakukan sebuah kesalahan, seorang pemimpin harus menyelediki secara teliti sehingga tahu persis duduk persoalannya.Saat marah, pemimpin harus tetap profesional. Fokus pada masalah. Jangan sampai menyerempet ke persoalan pribadi. Kuasai emosi untuk menghindari sumpah serapah yang tak perlu keluar dari mulut.

MENGHADAPI PEMIMPIN PEMARAH

Sebagai anak buah, kita jelas tidak bisa menegur pemimpin yang pemarah. Namun, kita bisa gunakan sedikit celah. Misalnya, saat situasi sedang santai atau sang bos sedang terlihat relaks, tidak tegang. Saat emosinya sedang stabil, dengan bahasa halus dan nada canda kita bisa menegurnya, “Nanti Bos marah lagi.” Tapi ingat, jangan lakukan itu saat suasana sedang serius. Bisa-bisa, emosi sang bos makin meluap. Namun, bukan berarti kita tetap diam ketika bos marah. Karena itu juga bisa membuat bos lebih marah karena memandang anak buahnya lembek dan pasif. Sekadar Yes Man. Lalu harus bagaimana? Anak buah harus pandai melihat situasi. Karena ada kalanya, sang bos justru lebih suka anak buah yang berani mengungkapkan pendapatnya. Tentu saja dengan cara dan bahasa yang elegan.

MENGOLAH AMARAH DI KANTOR

Sebelum amarah meluap, ada baiknya kita menjaga emosi di kantor. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan.
Pertama berani berkata “tidak” pada atasan saat ia menambah beban tugas. Ini akan menghindarkan kita dari sikap kesal terhadap diri sendiri. Selain itu, kita dapat mengerjakan tugas yang menjadi tanggung jawab kita semaksimal mungkin. Sehingga hasilnya prima dan selesai tepat waktu, sesuai target.
Kedua pergunakan waktu istrirhat di kantor dengan maksimal. Bila perlu keluarlah dari ruang kerja, melihat pemandangan lain. Ketika ngobrol dengan teman, pilih topik selain masalah pekerjaan. Saat jenuh, pilih bacaan yang ringan namun menyegarkan otak. Perbanyak minum air putih.
Ketiga displin terhadap diri sendiri dan pekerjaan. Ketika istirahat, gunakan waktu itu untuk refreshing. Manfaatkan cuti. Cuti tidak boleh diganti dengan uang sebab cuti adalah saat untuk memperbaiki fisik dan mental.
Keempat tatalah ruang kerja secara personal. Ini salah satu terapi menurunkan kadar emosional. Bahkan kalau perlu, setiap tahun suasana kerja kita harus diganti.
Seperti penyakit, lebih baik mencegah daripada mengobati begitu juga dengan amarah. Jika emosi sudah bisa kita jaga maka amarah pun tak perlu muncul. Kalaupun terpaksa muncul, amarah kita akan terarah. Seperti nasihat Paulus, “Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu,” (Ef 4:26).

Kebenaran ini mengajarkan kepada kita bahwa bekerja melebihi batas yang sudah ditetapkan oleh Tuhan tidak akan membuat kita menghasilkan yang lebih besar dari batas tersebut. Kita harus memiliki hikmat untuk tidak mengerjakan sesuatu yang lebih besar daripada batas yang telah Tuhan tetapkan dalam hidup kita. Beberapa tanda kita sudah bekerja melampaui batas adalah:

Merasa mudah lelah
Pasangan kita (dan anak kita) mulai komplain karena tidak mendapatkan perhatian yang cukup
Hasil pekerjaan kita tidak sebanding dengan tenaga yang kita keluarkan
Kita tidak memiliki fokus selain bekerja
Kita tidak memiliki cukup teman

Sekarang mari kita bersikap realistis terhadap beban pekerjaan kita. Jangan terlalu optimis dan mengambil tanggung jawab terlalu besar sehingga apa yang kita hasilkan ternyata tidak sesuai dengan tenaga yang kita keluarkan.

Indayati Oetomo
Direktur Internasional John Robert Powers

Comments :

0 komentar to “Mengolah Amarah Supaya Terarah”

Post a Comment

Chat With Me

Blog Archive

Recent Comment

Recent Post

 

Copyright © 2009 by Me and MySelf